Parpol Masih Getol Rekrut Mantan Napi Koruptor, Kenapa?

WALAKNEWS.com Ι Jakarta Ι – Pantaskah jika mantan napi koruptor ditarik kembali oleh parpol? Ini jenis pertanyaan etis, bukan pertanyaan legalistik.
Baru-baru ini dalam debat terbuka antara Achmad Baidowi dengan Ray Rangkuti via Metro TV, pasalnya M. Romahurmuziy (Rommy) mantan Ketua Umum PPP yang mantan napi koruptor itu ditarik kembali oleh PPP. Rommy terlihat aktif di kegiatan PPP Yogyakarta saat menyambut kedatangan Anies Baswedan dalam salah satu acara parpol tersebut.
Lalu Metro TV juga menayangkan aktifnya mantan koruptor lainnya. Ada Andi Mallarangeng di Partai Demokratnya AHY, juga M. Nazaruddin di Partai Demokrat versi KLB-Moeldoko.
Sebelumnya, kita juga mendengar banyak mantan napi koruptor yang “diberi jalan” oleh parpol untuk bisa menjabat berbagai jabatan publik, termasuk di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Fenomena mantan napi koruptor yang kembali aktif di (atau ditarik kembali oleh) parpolnya ramai jadi perbincangan publik. Maka kembali pertanyaan diawal tadi menjadi relevan untuk diajukan, “Pantaskah jika mantan napi koruptor ditarik kembali oleh parpol?” Sekali lagi, ini jenis pertanyaan etis, bukan pertanyaan legalistik.
Sementara pihak, memang bisa saja berargumentasi berdasar azas legalistik. Katanya, “kan sudah menjalani hukuman, maka ia seolah sudah menebus segala kesalahannya. Maka oleh karena itu ia berhak dong untuk kembali berkiprah di partai politik. Itu kan haknya.”
Iya memang seperti itulah argumentasi ala pemikiran legalistik. Tapi kalau pertanyaannya soal kepantasan, maka kita sebenarnya diajak untuk menggeser paradigma kita dari yang legalistik menuju ke alam pikir etis.
Ini soal kepatutan, dan juga soal fatsun dan marwah partai politik itu sendiri. Parpol yang masih mau menerima mantan napi koruptor untuk menjadi kadernya, jelaslah perlu dipertanyakan soal keseriusan serta komitmennya dalam pemberantasan korupsi.
Apakah ada yang mau rumahnya di jaga satpam mantan perampok yang malahan pernah menjarah rumahnya?
Apakah jargon anti korupsi parpol itu cuma sekedar sloganisme?
Karena dicurigai di belakangnya parpol tersebut, ternyata masih ngiler juga dengan dana hasil korupsi yang bisa diperolehnya sebagai mahar atau bahkan upeti dari para mantan napi koruptor itu. Walahualam..!!
Kita juga belum lupa saat DPR-RI entah kenapa menolak RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal untuk masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional).
Padahal naskah akademik dan Rancangan Undang-Undangnya sudah disiapkan dan diajukan oleh pihak pemerintah sejak lama. Ya kenapa? Apakah soal pemberantasan korupsi ini bukan prioritas bagi mereka yang saat ini duduk di DPR-RI?
Bukankah kita semua sepakat bahwa tindak pidana korupsi itu kategorinya adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)?
Ada pendapat yang bilang, bahwa memberantas korupsi itu paling efektif adalah dengan memiskinkan si pelakunya. Lantaran jadi miskin itulah yang paling ditakuti oleh para koruptor.
Lalu, apakah RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang bisa (memungkinkan) aparat hukum secara legal bisa memiskinkan para koruptor ini serta membatasi transaksi uang kartal adalah hal yang juga ditakuti oleh mereka yang saat ini duduk di DPR-RI?
Apakah parpol yang saat ini punya kader di DPR-RI tidak punya itikad dan tekad yang kuat untuk “menugaskan” kadernya agar segera menuntaskan RUU tersebut? Kenapa malah ditolak?
Sebagai gambaran, DPR-RI saat ini terdiri dari 575 kursi, itu tersusun sebagai berikut : PDIP 128 kursi (22%), Golkar 85 kursi (15%), Gerindra 78 kursi ( 14%), NasDem 59 kursi (10%), PKB 58 kursi (10%), Demokrat 54 kursi (9%), PKS 50 kursi (9%), PAN 44 kursi (8%), dan PPP 19 kursi (3%).
Mengapa 575 orang itu menolak RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal untuk masuk dalam Prolegnas? Apakah ini yang juga menyebabkan banyak parpol jadi masih getol menerima kembali (dan merekrut) para mantan “Napi Koruptor”? Demi apa?
“Power does not corrupt men. Fools, however, if they get into a position of power, corrupt power!” (George Bernard Shaw)
Oleh : Andre Vincent Wenas. (Pemerhati ekonomi-politik) (adm-01)