Danau Tondano, Nasibmu…


Mengenang Fesbudaton EE Mangindaan

WALAKNEWS.com, Ι Jakarta Ι – Saat jadi Gubernur Sulut, E.E Mangindaan mencoba mengangkat kembali pamor danau yang menyimpan banyak cerita sejarah yang mampu menggetarkan kalbu bagi setiap orang Minahasa.

Gambaran kehidupan serta keindahan Danau Tondano itu dengan lengkapnya dituturkan seorang putri cantik asal Desa Tondano, Vivi Sumanti, melalui alunan lagu Danau Tondano era awal tahun 1970-an. Sebuah lagu yang coba mengabadikan cinta kasih, kekayaan, kekuatan, dan sekaligus keindahan alam Danau Tondano.

Pada tahun 1996, Gubernur Mangindaan saat disodori konsep pengembangan kembali Festival Bunaken langsung mengaitkannya dengan Festival Danau Tondano. Selain primadona taman laut dan taman selam Bunaken, Sulawesi Utara dapat juga mengandalkan Danau Tondano sebagai obyek unggulan wisatanya, ujar Mangindaan ketika berargumen dengan sejumlah wartawan.

Menurut Mangindaan, dua jangkauan yang hendak diraih sekaligus lewat Festival Danau Tondano.

Pertama, menawarkan serta menjual keindahan Danau Tondano yang betul-betul lain dari yang lain, termasuk keindahan danau yang dikelilingi sejumlah mata air panas yang amat diminati wisatawan Jepang.

Kedua, juga lewat festival ini, masyarakat akan didorong untuk mengembalikan potensi serta kekayaan danau yang terus mengalami degradasi lingkungan akibat kelalaian serta keserakahan manusia.

Pelaksanaan Festival Bunaken yang mulai digelar pada tahun 1991 bersamaan dengan pelaksanaan Visit Indonesia Year kemudian diputuskan sekaligus digabung dengan Festival Danau Tondano.

Maka, berubalah nama festival menjadi “Fesbudaton” (Festival Bunaken dan Danau Tondano) yang peresmiannya dilakukan oleh Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Joop Ave pada waktu itu.

Dalam waktu singkat, arena festival yang sebelumnya merupakan hamparan belukar-belukar kecil di tepi Danau Tondano, di ujung Utara Desa Paleloan, Kecamatan Remboken, berubah menjadi arena yang indah.

Setiap kabupaten dan kota menempatkan sebuah bangunan rumah panggung dari bahan kayu. Bangunan induk yang menjadi pusat kegiatan dibangun menghadap ke timur kea rah Danau Tondano.

Di bagian tengah arena itu berdiri tempat pergelaran seni budaya tradisional dari empat etnik yang mendiami Bumi Nyiur Melambai, masing-masing Bolaang Mongondow, Hulontalo (Gorontalo), Sangihe Talaud, dan Minahasa.

Sepanjang tujuh hari pelaksanaan festival, lokasi festival yang nyaris tak dikenal orang itu berubah menjadi arena pertemuan, diskusi, pertandingan seni budaya seperti Tari Maengket, Musik Bambu, Kolintang dan sebagainya.

Itu dulu. Tetapi kini, setelah 30 tahun berlalu, arena pusat Fesbudaton sudah berubah menjadi belukar-belukar kecil. Sejumlah bangunan yang masih berdiri kekar, tampak tak terurus.

Tanda-tanda atau sisa-sisa festival yang sempat mengundang decak kagum dari sejumlah duta besar yang hadir saat berlangsung pembukaan festival telah sirna.

Mungkinkah ini dikembalikan lagi? Inilah kegalauan seorang jurnalis Alm. Fredy Roeroe dalam tulisannya di Kompas tahun 2002, “Danau Tondano, Nasibmu …

Dikutip dari WA Grup Minahasa Hebat, ditulis oleh Bert Toar Polii.(adm-01)

Berita Terkait

Top